Sejarah

"Kolintang kang Nguripi, lan Nguripake Kolintang"

Berikut adalah sebuah cerita kehidupan yang dikisahkan oleh Pak Ris, panggilan sehari-hari Bapak Resdiarto Watono, pria kelahiran Tlepok Wetan, Kutoarjo, 22 Oktober 1950, yaitu cerita tentang kolintang yang telah menghidupi keluarganya sampai saat ini.

Kisah berawal pada tahun 1970, sewaktu Pak Ris menjadi mahasiswa di Fakultas Teologia UKSW. Adalah sebuah keberuntungan bila pada saat itu Pak Ris dengan beberapa rekan mengenal dan mencoba berlatih alat musik kolintang yang ada di University Centre UKSW. Sekalipun mereka baru pertama kali belajar musik, akhirnya mereka berhasil dalam berlatih dan dapat mementaskan beberapa lagu disaksikan mahasiswa teologia dalam acara social evening di UKSW. Mereka mendapat sambutan positif, dan itu menjadi pendorong untuk berlatih lebih giat. Makin lama mereka makin dikenal di UKSW dan sering mendapat panggilan untuk bermain keluar. Seperti pada perayaan-perayaan hari besar Kristen, acara pernikahan, pertemuan di kantor-kantor, sampai mengisi panggung gembira RRI di Solo.

Hingga pada suatu ketika, grup kolintang mereka akan pentas di sebuah Gereja Katolik di Salatiga. Saat itu mereka mencoba alat yang akan dipakai, ternyata kolintang tersebut fals. Pada saat itu teman-teman merasa gelisah karena hal tersebut, sehingga kemudian Pak Ris berusaha membetulkan nada-nada yang fals itu, dan ternyata berhasil. Sejak saat itu, teman-teman mengajak untuk membuat alat musik kolintang sendiri agar kalau pentas tidak usah mencari pinjaman.

Di tengah-tengah masa sulit dalam membiayai kuliah, kolintang memberikan pengharapan baru, sebab upaya mencoba membuat kolintang yang dilakukan di gudang GKJ 55 Salatiga ternyata berhasil. Demi meluapkan kegembiraan atas keberhasilan mereka, Pak Ris dan kawan-kawan bermain kolintang sampai semalam suntuk dengan bersuka cita. Sejak itu Pak Ris dan rekan-rekan bertekad untuk memproduksi dan menerima pesanan kolintang. Namun kerja sama dalam menerima pesanan dan memproduksi kolintang tidak berjalan lama karena kemudian masing-masing menerima pesanan dan memproduksi sendiri-sendiri pesanan-pesanan kolintang tersebut.

Pesanan perdana yang diterima Pak Ris berasal dari Pabrik Karung Goni Pecangaan pada penghujung tahun 1972, setelah Pak Ris dan rekan-rekan menerima panggilan pentas dalam sebuah acara pertemuan Pabrik Karung Goni Pecangaan di Salatiga. Setelah pementasan, pabrik karung itu memesan 1 set kolintang. Pada bulan Desember tahun 1973, setelah mendapat panggilan pentas di GKJ 55 dalam acara pernikahan seorang warga, Pak Ris bersama teman-teman bertemu dengan seorang musikalis dari Jogja bernama Bapak Jan Wiryono. Beliau adalah pengelola Panti Asuhan "Reksa Putra" bagian Putri di Yogyakarta, yang sangat tertarik pada kolintang. Karena ketertarikan itu, beliaupun memesan 1 perangkat kolintang. Pada waktu pesanan tersebut diantar, Bapak Jan Wiryono terlihat sangat kecewa. Beliau mengatakan bahwa kolintang itu fals, tetapi Pak Jan tidak marah. Pak Ris menjanjikan beberapa bulan lagi akan datang untuk membetulkan nada kolintang (stem nada) kolintang tersebut. Dari perkenalan dengan Pak Jan itulah Pak Ris mendapat banyak pengetahuan tentang proses dan teknik pembuatan kolintang, angklung, stem piano, dan beberapa alat musik lain.

Hubungan dengan Pak Jan berlanjut semakin baik dan pemasaran kolintang produksi Pak Ris melalui Pak Jan sangat besar. Pada tahun-tahun berikutnya, Pak Jan Wiryono selalu memesan kolintang dalam satu bulan paling tidak 2 perangkat, disamping pemesan-pemesan dari tempat lain.

Sejak tahun 1974, setelah menikah dengan Ibu Esther Siswati Pudji Rahayu dan tinggal di Jalan Kenanga-Ungaran, Pak Ris memberi nama kolintang produksinya dengan nama "Kolintang Kenanga". Dari Hasil kolintang itulah kecukupan keluarga Pak Ris ditopang sampai dengan tahun 1983, tahun yang sama pada saat Pak Jan Wiryono dipanggil TUHAN, seiring meredupnya masa-masa keemasan musik kolintang.

Pada masa-masa sepi, untuk menyiasati ketatnya persaingan bisnis kolintang dan perkembangan teknologi musik yang demikian beragam, kesetiaan Pak Ris untuk tetap hidup berkesenian diuji. Hasilnya adalah pengembangan kolintang yang cukup inovatif. Penambahan nada-nada kromatis pada masing-masing perangkat, menggabungkan kolintang dengan alat musik angklung menjadi sebuah kolaborasi yang serasi, sampai memproduksi kolintang-kolintang versi mini untuk anak-anak sekolah sebagai sarana mengenalkan nadapun dilakukan. Kolintang yang pada mulanya sangat sederhana menjadi demikian variatif, inovatif dan edukatif. Disinilah bapak lima anak dan kakek enam cucu ini berupaya untuk tidak menyerah pada keadaan. Terus tertantang untuk mengembangkan dan memperbaharui kolintang dan menciptakan kolintang sebagai sebuah tren baru yang diminati banyak orang, secara khusus para pendidik dan anak-anak sekolah.

Pada tahun 1985-1990 Pak Ris berhasil membina anak-anak di lingkungan rumahnya, terutama anak-anak sekolah minggu, menjadi sebuah kelompok kolintang anak-anak yang cukup dikenal di Kabupaten Semarang karena usia anggotanya. Berbekal lagu rohani, lagu daerah, dan lagu nasional, baik itu berirama pop, keroncong, maupn dangdut, mengantarkan anak-anak untuk berpentas di berbagai perayaan gerejawi, maupun hari nasional di berbagai gereja dan instansi. Namun sayang, setelah anak-anak tersebut beranjak dewasa, tidak ada penerusnya.

Upaya mengembangkan dan melestarikan kolintang dilakukan oleh warga GKJ Ungaran ini dengan bekerja sama dengan Bapak Kriyono, SH. penerus Bapak Jan Wiryono, PUSKAT Yogyakarta dan kolega-kolega di berbagai tempat di penjuru Tanah Air. Selain itu terbina kerja sama dengan Balai Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal (BPPNFI) Ungaran dalam rangka pemasaran dan pelatihan pembuatan alat kolintang yang terwujud dalam Unit Produk APE (Alat Permainan Edukatif) untuk melengkapi sarana pendidikan SD dan TK. Termasuk di dalamnya beberapa kali mendampingi dan melatih pemuda-pemuda dari Aceh pasca gempa dan tsunami yang mereka alami, untuk membangkitan minat terhadap pendidikan kesenian, terutama kolintang.

Kualitas produk yang terjaga dengan baik dengan menyeleksi kayu-kayu yang dipakai, dan terus-menerus menyempurnakan penampilan kolintang, sehingga kolintang yang sederhana bisa mengikuti perkembangan musik yang ada. Sampai saat ini pemasaran kolintang sudah tersebar di berbagai instansi pemerintah, swasta, sekolah, gereja, bahkan beberapa kali pesanan dikirim ke luar negeri. Semua itu adalah salah satu buah kesetiaan sang istri, seorang pengajar di SMA Negeri I Ungaran yang selalu mendukung aktifitas berkesenian Pak Ris, dengan menjadi motivator maupun komentator yang baik dalam proses produksi kolintang.

Suka duka dirasakan Pak Ris selama 37 tahun berkecimpung dalam memproduksi kolintang. Dulu pada saat pesanan banyak, seringkali kekurangan tenaga untuk mengerjakannya, karena pada saat itu proses produksi masih dilakukan dengan alat-alat manual, belum seperti sekarang ini yang lebih mudah karena sudah didukung oleh alat-alat pertukangan bertenaga listrik. Harga bahan baku yang selalu menanjak menjadikan perolehan semakin kecil, sebab tidak sebanding dengan harga pemasaran. Musim hujan menyebabkan kayu tidak kering seperti yang diharapkan, demikian pula proses pemolesan dengan politur dan pengecatan yang masih mengandalkan sinar matahari. Beberapa hal tersebut merupakan kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi dan disiasati untuk memperoleh hasil dan memberikan hasil yang terbaik bagi pemesan.

Kepuasan pemesan oleh kolintang hasil karyanya merupakan kebahagiaan tersendiri bagi aktivis gereja yang pernah menjadi guru di SMP Masehi Ungaran pada tahun 1974-1979 ini. Demikian pula pada saat melihat hasil karyanya banyak dipakai orang, banyak gereja, karena prinsip yang dipegang dalam menjalani komitmen sebagai pengrajin-produsen kolintang adalah selalu meningkatkan mutu dan memberikan yang terbaik, karena kepuasan itu berasal dari produk yang memuaskan banyak orang. Dapat memberi lapangan kerja bagi orang lain, memberikan kesempatan untuk menularkan ilmu dan ketrampilan yang dimilikinya kepada orang lain, adalah sebuah suka cita tersendiri. Demikian pula relasi yang dibangun dengan mereka yang bekerja yang bekeja kepadanya, tidak ada istilah majikan dan pekerja, kecuali sebutan akrab Pak Ris dan keluarga yang memanggil mereka "Pak Tukang" yang lambat laun menjadi "Pak ..." sesuai dengan nama mereka. Relasi kekeluargaan yang dibangun memberikan kesempatan besar bagi "Pak Tukang" untuk belajar menjadi tukang kayu yang baik dan selalu memberikan yang terbaik. Mereka yang berhasil menyerap ilmu dengan baik mendapatkan kesempatan dan dipersilahkan untuk mengembangkan diri di tempat lain. Banyak diantara "Pak Tukang" ini yang kemudian memiliki taraf kehidupan yang lebih baik berkat ketekunan dan pelajaran yang mereka terima sewaktu bekerja bersama Pak Ris. Pola kerja (mirip sekolah informal) yang dikembangkan Pak Ris ternyata membawa berkat bagi banyak orang, dan lebih lagi ikatan persaudaraan yang selalu terjaga dan terbina dengan baik. Sekalipun mendapatkan keuntungan dan menjadi salah satu penopang ekonomi keluarga, namun kolintang bukanlah bisnis yang murni untuk keuntungan semata, sebab jiwa dan semangat sebagai pendidik, seniman dan penghayatan akan pelayanan dalam hidup bergereja mejadi dasar kehidupan yang kuat. Pak Ris juga menyediakan waktu untuk mendampingi/melatih kolintang di berbagai tempat.

Kolintang yang sudah memberikan kehidupan yang kemudian menjadi sarana berbagi dalam karya dan pelayanan. Baik dalam hidup keseharian maupun dalam hidup bergereja dengan kemampuan di bidang seni, terutama seni musik. Hal ini nampak dari keterlibatannya dalam mendampingi dan mengembangkan kehidupan seni di GKJ Ungaran, antara lain:

  • seni karawitan dan panembromo yang diikuti oleh warga adi yuswa
  • latihan paduan suara dan pemimpin pujian ibadah minggu
  • kelompok keroncong rohani
  • pengadaan, pemeliharaan dan pelatihan gamelan
  • mendampingi latihan tari anak-anak
  • beberapa kali mengkolaborasikan kolintang dengan organ untuk mengiringi ibadah minggu
  • dan aktivitas-aktivitas gerejawi lainnya

Demi pelayanan, Pak Ris selalu ada waktu dan tidak segan-segan menyediakan dana pribadi untuk mendukung aktivitas-aktivitas gerejawi yang diikutinya sebagai salah satu cara Pak Ris menyatakan syukur sebab TUHAN selalu memeliharan dan memberi kecukupan bagi keluarga sampai saat ini.

Pada akhir, bagi gereja, instansi maupun perorangan yang berminat untuk melestarikan dan mengembangkan alat musik kolintang ini dapat berkunjung ke rumah Pak Ris di Jl. Kenanga No.21 Rejosari, Genuk, Ungaran, atau dengan kontak via telepon ke (024)6922694 atau 081326411669. Bagi generasi muda yang ingin belajar, mengembangkan ketrampilan sekaligus melestarikan kolintang sebagai warisan budaya bangsa, dapat berkunjung ke bengkel kerja/workshop Pak Ris di Jl. S. Parman (samping gado-gado 74) Ungaran. Kalau bingung, dari pertigaan Kampus Abdiel/Undaris ke Timur, bertanyalah kepada tukang ojek "Di manakah rumah Pak Ris kolintang?", pasti mereka akan memberikan arah yang benar.

Ditulis oleh Dwi Sofia Adi Nugraha, berdasarkan artikel Kolintang dan Angklung Kenanga "Kolintang kang Nguripi, Lan Nguripake Kolintang" dari Majalah Bulanan Gereja Kristen Jawa "kayuwanan" No.12 Tahun 01, Desember 2009, Halaman 39-41.

Lokasi
Tinggalkan Pesan